Aimi Homestead A humble homestead, a timeless heritage

Pekarangan, Pangan, Peradaban

Our Project Now


TBM Lazuardi

A thousand stories, one bright horizon.

Sontoloyo Farm

In every feather, a story of resilience

Miq Nursery

Nurturing sprouts, growing hope

Eureka! Creative

Play, learn, and spark imagination.

"Every seed holds a story, every egg carries resilience, every book lights a horizon.
At Aimi Homestead, we believe small steps in our backyard can shape civilizations."

~ JOIN US ~

Permakultur di Aimi Homestead, Kisah Awal Mula

 


Di awal mula kami menimbang langkah, antara ayam kampung atau bebek, mana yang lebih ramah dan tentunya murah meriah. Ayam sempat jadi pilihan, namun dalam eksekusi, bebek yang akhirnya diterapkan. Bebek mempunyai ketahanan yang dianggap lebih baik dari ayam. Ia tak rewel saat dingin dan hujan, tak gampang sakit di cuaca panas, dan telurnya punya nilai jual yang luas. 

Dalam usaha kecil, kestabilan adalah kunci, bukan sekadar jumlah produksi tinggi. Maka kami pelan-pelan memahami, bahwa hasil yang baik tak selalu berarti paling banyak, tapi cukup, konsisten, dan tak mudah goyah. Dalam prinsip permakultur, memetik hasil (obtain a yield) adalah hal yang harus dipertimbangkan dengan matang. Dan setelah melalui perhitungan, bebek petelur kami jadikan titik mula dari Aimi Homestead.

Lalu muncul pertanyaan lanjutan: dari mana memulai? Apakah dari itik kecil yang lucu dan murah, atau bebek dewasa yang siap bertelur meski lebih mahal rupanya? Kami akhirnya memilih jalur cepat: sepuluh ekor bebek siap produksi, langsung memberi hasil meski butuh investasi awal yang pasti. Karena waktu dan energi juga perlu ditimbang, pilihan ini terasa lebih masuk akal—bukan jalan pintas, tapi jalan sadar.

Perubahan Itu Cara Semesta Menulis Ulang Kemungkinan

 


Minggu depan, aku berencana memindahkan tanaman ubi jalar. Awalnya tumbuh subur di pinggir kolam, tapi kini akan kupindahkan ke belakang dapur. Bukan karena tempat lamanya tak layak, melainkan karena ada ide baru yang menurutku lebih tepat sasaran: di pinggir kolam itu, aku ingin menanam daun singkong. Singkong bisa tumbuh cepat, kuat menahan air limpasan, dan lebih mudah dipanen untuk kebutuhan dapur harian.

Lahan di pinggir kolam memang sempit. Semakin hari, batang dan daun ubi jalar makin menjalar, tapi hasil panen daunnya justru makin sulit karena semak makin lebat. Beberapa kali aku juga melihat ulat mulai banyak bermunculan di sela-sela daun. Dengan kondisi seperti itu, rasanya lebih cocok untuk tanaman yang tegak dan langsung tumbuh ke atas, seperti singkong atau kenikir. Sementara ubi jalar, yang lebih membutuhkan ruang menjalar, akan kupindah ke belakang dapur yang lebih luas. Ini bagian dari belajar membaca ulang situasi dan menanggapinya dengan bijak—sebuah praktik kecil dari prinsip creatively use and respond to change. Perubahan bukan hanya soal mengganti, tapi soal memahami kapan dan di mana sesuatu bisa tumbuh lebih optimal.

Sudah beberapa kali aku memindahkan atau bahkan menghapus sesuatu yang sebelumnya kutanam atau kubangun. Kadang terasa berat di awal—karena sudah terlanjur ditanam, dibuat, atau dibayangkan. Tapi seiring waktu, aku belajar bahwa fleksibilitas justru menyelamatkan. Dulu aku pernah mencoba maggot sebagai bagian dari mimpi sirkular ekonomi di Aimi Homestead. Tapi setelah dijalani, ternyata tak selalu feasible di lapangan. Sisa makanan yang semula ingin kuolah lewat maggot, kini langsung kuberikan ke ikan atau bebek—lebih sederhana, langsung termanfaatkan, dan tak perlu proses tambahan. Begitu pula saat aku membangun kandang kastari, lalu berganti ke kandang baterai, dan kini kembali ke kandang biasa—semua karena pertimbangan kenyamanan, tenaga kerja, dan kondisi harian yang terus berubah.

Dari semua itu, aku makin yakin bahwa merancang kebun atau sistem hidup tak bisa kaku. Prinsip dalam permakultur yang disebut apply self-regulation and accept feedback mengajarkanku untuk tidak terpaku pada rencana awal, tetapi siap menyesuaikan diri dengan realita. Kita mungkin memulai dari mimpi, tapi yang paling berharga adalah kemampuan membaca ulang, merancang ulang, dan terus menimbang: mana yang paling feasible, paling sesuai untuk keberlanjutan jangka panjang. Di Aimi Homestead, perubahan bukan kegagalan—tapi bagian dari proses belajar yang terus berjalan.

Dari Bebek Petelur, Kami Merancang Kedaulatan Pangan

 


Sepuluh ekor bebek bukanlah angka yang besar, tapi dari sana kami belajar tentang hasil yang benar-benar mengakar. Dengan produktivitas 70 persen, artinya tujuh butir telur kami petik setiap sore. Jika satu butir dijual dua ribu lima ratus rupiah, maka tujuh belas ribu lima ratus masuk ke saku dengan peluh yang sederhana. Biaya pakannya pun terukur: 1,2 kilogram setiap hari, dengan harga delapan ribu rupiah per kilo, jadi sekitar sembilan ribu enam ratus yang kami keluarkan. Sisanya, bukan sekadar untung uang, tapi sinyal bahwa sistem ini mulai berjalan.

Bukan angka besar yang kami kejar, tapi arah yang jelas untuk bertumbuh benar. Dari hasil kecil ini, kami bisa menyiapkan dana untuk bibit kangkung di kolam, atau membeli bahan baku fermentasi pakan. Telur-telur bebek bukan sekadar produk, tapi pengungkit bagi kegiatan lain yang saling terhubung. Di sinilah prinsip obtain a yield kami maknai: hasil bukan hanya panen besar di akhir musim, tapi juga aliran kecil yang terus menghidupkan.

Ketika satu kegiatan menghasilkan, kegiatan lain pun diberi napas. Kami belajar merancang pekarangan seperti tubuh yang berjejaring: kandang menghasilkan kotoran untuk kompos, kolam menerima air bekas cuci telur, dan kebun menyambut pupuk alami dengan syukur. Satu hasil kecil dari bebek menjadi pemantik bagi kebun, dapur, dan pembibitan. Inilah buah dari desain: hasil yang mengalir, menghidupi, dan menyambung—perlahan namun pasti.

Merayakan Hidup yang Cukup, Makna, dan Bijaksana

 


Di Aimi Homestead, kami menanam, kami merawat, kami memanen: semangat dan filosofi. Kami membangun ritme baru yang lebih lambat, lebih sadar, dan lebih terhubung. Sebuah slow living—hidup yang alih-alih diburu masa, tapi fokus  memanen makna, dari setiap detik yang dilewati bersama: tanah yg berbisik, air yang gemericik, dan kehidupan yg berkelindan dg asyik.

Kami belajar foraging, dari anak-anak desa, yang tahu mana dedaunan paling sedap, dan jejamuran yang bakal lahap disantap. Kami menata ulang pekarangan, bukan hanya sebagai tempat menanam, tapi sebagai lanskap yang berpola, berlapis, dan saling mendukung—seperti prinsip permakultur ajarkan. Setiap gulma bisa jadi mulsa, setiap limbah bisa jadi berkah, dan setiap waktu adalah laku.

Dan lebih dari itu, kami percaya pada kekuatan local geniuses—pengetahuan para tetua, kearifan para petani, dan kebiasaan kecil yang dianggap remeh tapi penuh hikmah dan visi masa depan yang cerah: weruh sedurung winarah. Homestead kami bukan sekadar tembat tinggal dan diam, kelak akan bertransformasi, ruang belajar lintas generasi, yang hidup dan menghidupi, setiap hari.

Our Special Project


homestead.aimi.my.id
Susukan, Sumbang
Banyumas

Phone
0857-4005-0526
homestead.aimi@gmail.com

Aimi Homestead is a living yard rooted in permaculture, where family resilience is nurtured, local wisdom becomes a compass, and circular economy ensures nothing goes to waste. It is a humble step toward sustainability, where food, community, and civilization grow hand in hand.


“Though the problems of the world are increasingly complex, the solutions remain embarrassingly simple.”
— Bill Mollison, Father of Permaculture